Dia memakai ransel yang diikatkan dengan malas dipunggungnya yang bungkuk. Dan tangannya dimasukkan ke kantong jaket militernya.
Mulanya sama sekali tidak kuperhatikan orang itu. Aku
asyik memikirkan uang sewa kamarku yang belum lunas bulan lalu dan harus
dibayar dalam tiga hari ini. Yang kupikirkan bukan uang itu. Tapi cara yang
punya rumah memintanya. Dia tidak tahu bagaimana kepahitan hidup seorang
penulis yang menggantungkan diri kepada karangan-karangannya.
Malam ini aku tidak pulang ke rumah. Malas dan mengkal.
Maka aku memilih dengan menyusuri jalan-jalan malam hari sampai akhirnya pegal
dan kemudian memilih jalan yang sepi. Dan kemudian kupilih sebuah tembok rumah
dan duduk-duduklah aku di tangganya sambil merokok kretek.
Mulanya memang aku tidak memperhatikan orang itu. Tapi sekali
bawah sadarku merasakan sesuatu dan demi heranku melihat tingkahnya yang agak
aneh. Dia jalan mondar-mandir dalam jarak dua puluh langkah dan itu
dilakukannya lebih dari setengah jam kukira. Kalau pegal dia duduk di pagar jalanan dan kemudian jalan lagi.
Akhir-akhir ini aku takut pada tentara. Dulu aku menabrak
seorang tentara malam-malam dengan sepeda. Untung dia sabar dan tidak
memukulku. Anehnya ia sesudah tidak jadi memukul itu
lantas menanyakan kartu penduduk. Dan soal kartu penduduk
itu akhirnya menimbulkan perbuatan yang mencemaskan hidupku.
Aku tidak punya, jawabku dulu.
Ingatan itu belum habis, tentara yang mondar-mandir tadi
itu tiba-tiba telah dihadapanku berdiri dengan tangan masih dimasukkan dalam
jeketnya. Aku mulai takut kalau-kalau ia menanyakan kartu penduduk pula.
“Kau kawannya?” tanyanya tiba-tiba sambil memalingkan
mukanya ke seberang jalan.
“Kawan siapa, Pak?” tanyaku berdebar.
“Maaf!” katanya kemudian dengan bersungguh hati. Dan
kemudian menerusi, “Kau tinggal di mana, Mas?” pertanyaan yang aneh itu
kujawab, “Jalan Wahidin.”
Lalu dia duduk begitu saja di sampingku. Aku yakin ia
susah, sebab beberapa kali nafasnya dilepaskannya.
“Kenapa kau duduk-duduk di sini,” suaranya tidak
mengancam, tapi isi kalimatnya terang mencurigaiku.
“Tidak apa-apa, Pak. Saya cuma kecapekan,” jawabku jujur.
“Betul-betul kau tidak punya kawan lain yang pergi ke
seberang sana?” agak keras suara itu buatku walau diucapkannya lembek sambil
menolehkan kepala ke seberang jalan.
“Tidak!”
“Awas kalau ada!” kini betul-betul mengancam ia rupanya.
“Kau dan dia akan saya tembak,” sambungan suaranya tambah
mempertakut diriku.
Sesaat kami tidak bicara. Ia kelihatan sebenarnya amat
lesu. Tapi tetap gelisah. Aku tak berani memulai bicara sebab takutku. Dan
ketika ia bergerak sedikit, darahku serasa luput semua. Tapi ia cuma berdiri
tidak memandangku. Dan kemudian pergi lagi ke arah tempat ia mondar-mandir
semula. Ia tidak mondar-mandir lagi, cuma berdiri tenang-tenang di bawah tiang
listrik. Dan alangkah senangnya hatiku ketika ia bergerak ke arah pepohonan
jeruk dan hilang di antara pagar-pagar gang.
Aku akan cepat-cepat pergi saja. Aku khawatir ia gila.
Tapi kemudian kubantah sendiri: Tidak mungkin tentara gila dilepaskan dari
markas pondokannya. Kemudian kubantah lagi, gila atau tidaknya, tidak peduli.
Yang penting aku harus pulang kini-kini juga dengan segera, agar tidak terlibat
dalam persoalannya. Tapi ini pun kubantah, dia tadi menanyakan alamatku dan aku
ada menyebutkan. Dia tadi curiga padaku. Dan tentu dia akan makin curiga sebab
aku pergi. Dan ini akan menjadikannya marah yang akan disusulnya dengan
memburuku dan aku betul-betul akan ditembaknya. Kemudian kuputuskan, sebaiknya
aku tinggal diam di sini sampai pagi datang, biarpun ini akan menyiksaku.
Aku menyesal telah terhampar ke tempat ini dan
mempersulit keadaan diri sendiri saja. Akhir-akhir ini aku khawatir tentang
keadaan diriku dan khawatir pula kalau diriku dapat kesulitan.
Pernah dulu aku berniat akan bunuh diri. Tapi kubunuh
perasaan gila begitu. Kemudian datang pula seorang kawan. Dia juga penulis. Dan
menceritakan juga kesulitan-kesulitan hidup. Lalu kusuruh secara bergurau,
“Bunuh diri saja!” walau aku menyatakan dengan hati yang bersungguh-sungguh.
Tapi seperti juga diriku, dia pun tak jadi bunuh diri. Dan ketika kami bertemu,
kawan itu berkata, “Buat apa kita membunuh diri kita. Lebih baik kita bunuh
saja orang lain,” sambil ketawa. Dan kemudian ia mengajakku merampok toko,
sambi! ketawa pula. Tapi kami tak jadi membunuh orang atau merampok toko.
Ketika aku senyum sendiri, alangkah kagetku. Orang tadi
keluar di antara pohon-pohon jeruk dan terus menjurus ke arahku.
Aku mulai pura-pura menekur dan takutku menyita sampai ke
seluruh tulang-tulangku.
“Mas,” tapi suara itu pun perlahan kudengar.
“Apa, Pak?”
“Barangkali dia pulang jam empat atau setengah lima.”
“Siapa, Pak?” tanyaku.
Ia tak menjawab tapi terduduk. Kelihatan sukar sekali dia
duduk. Dan aku hanya berdiam diri saja sebab takutku
“Mas!” katanya.
“Ya?”
“Ada lelaki tidur dengan biniku sekarang!” kini barulah
aku merasa tenteram. Dan suara itu dapat kurasakan sebagai tanda persahabatan.
“Mulanya kau kucurigai tadi. Tapi maaf, tadi aku agak
pusing,” katanya.
“Aku pulang dari operasi, Kereta masuk jam sembilan malam
tadi,” suaranya makin bersahabat. Dan betapa pun, aku senang kini.
“Aku minum-minum dulu di markas. Sebenarnya aku sudah
boleh pulang tadi-tadi. Tapi jam sebelas aku pulang. Aku bawa oleh-oleh buat
biniku, kutaruh di depan pintu belakang, sebab aku yakin lelaki itu pasti
keluar dari pintu belakang.”
Tiba-tiba pula takut menyentaki darahku. Aku tak kepingin ikut-ikut dalam soalnya dan dalam soal siapa saja dalam
saat sekarang ini.
“Bagaimana, Mas?”
“Tembak saja!” kataku tiba-tiba secara tak sadar,
terpengaruh oleh perkataan “tembak” yang dari tadi sering beramuk di hatiku,
sejak ketemu dengan orang ini agaknya.
Begitu senang aku, sebab aku tak ditanyai atas usulku
yang terlanjur tadi. Dia memandangku lama-lama, kemudian mengeluh dalam-dalam.
Barangkali ia takut mengambil resiko penembakan, pikirku. Ini kutangkap di
matanya. Barangkali dia masih sayang pada bininya, pikirku, dan akan
dimaafkannya. Dan ini kutangkap di matanya.
“Apa tadi, Mas? Tembak?”
Aku jadi terpana oleh pertanyaannya. Sebenarnya aku akan
meneriakkan bantahan kembali, tapi aku sendiri nanti akan dicurigai dan diriku
jadi korban pelor secara tak karuan. Dan aku bisa mati anjing.
“Ya. Tembak,” katanya perlahan dan pilu.
Lama ia pandang wajahku.
“Ketika operasi aku dapat menembak musuh dengan
sebaik-baiknya. Kau tahu?” suaranya mengobarkan kebanggaan. “Dan
setidak-tidaknya ada lebih lima yang kupasti,” kemudian ia mengeluh dengan
nafas yang sakit.
Kami saling terhening beberapa saat, di saat mana otakku
dibalaukan oleh kebuntuan-kebuntuan pikiran. Dengan tiba-tiba saja ia bersuara,
“Kita di sini saja sampai jam lima. Biarpun dia lewat jalan belakang, gang itu
gang buntu,” dan sekaligus suara-suara persahabatan begitu berakhir dengan
ajakan agar aku terlibat dengannya.
“Kau tolong aku nanti. Mau kau menolong?” biarpun tidak
kujawab, tapi ia sendirilah yang menjawabnya, “Tentunya kau mau menolong,”
demikian ngeri kuterima putusan kerja sama ini.
“Sudah jam berapa?” tanyanya gelisah.
“Aku tak punya jam!” jawabku takut-takut.
Ia meraihkan nafas dalam. Kami terdiam agak lama.
“Sudah jam berapa?” tanyanya lagi.
“Aku tak punya jam, Pak,” kujawab dengan heran.
“O, iya, ya!” dan kemudian ia berdiri.
Kelihatan sekarang, dia makin gelisah. Dipandangnya ke arah
di seberang dan matanya mulai menyala-nyala.
“Kau tolong aku!” perintahnya tiba-tiba. Ketika aku
terdiam agak lama, ia menanyai agak mengancam, “Tak mau kau menolong aku?”
“Mau
Pak!”
“Ambilkan
pistolku di ransel belakang.” Dan ia menunduk ketika itu, sehingga dengan mudah
pistol itu kuambil dan kuberikan padanya.
“Isikan pelornya! Itu kosong,” perintahnya lagi.
Aku benar-benar takut dan pasti, bahwa ia gila. Aku
gugup, sebab dalam hidupku aku belum pernah berkenalan dengan senjata api.
Lama-lama aku terdiam deagan takut dan gelisah, sampai aku kemudian
dibentaknya, “Tak mau kau menolong aku?”
“Aku tak pernah pegang pistol, Pak.”
Matanya jadi merah dan tiba-tiba kurasa tanganku
diraihnya, sehingga pistol itu jatuh.
Kucoba memandang dia dengan mata minta dikasihani,
tapi begitu kaget aku ketika dalam matanya berenang butir-butir air mata putus
asa. Biji matanya kemudian turun mengajak mataku melihat sesuatu.
Kedua tangannya! Tangan-tangannya tidak bertelapak
dan berjari lagi, sebab putus tentang pertengahan lengan.
Ia menggigil. Tak berani aku memandangnya. Yang
kudengar hanya tangisnya yang menggigit-gigit sepi malam.
TAMAT
Cerpen di atas adalah karya Motinggo Busye (Pengarang Novel 7 Manusia Harimau) yang sekarang sinetronnya begitu populer.
0 Comments:
Post a Comment